Home » » Perkembangan Pers dan Kovergensi Media

Perkembangan Pers dan Kovergensi Media

Jurnalistik pada dasarnya berkaitan erat dengan pers, namum memiliki perbedaan. Dalam arti sempit, pers hanya digolongkan sebagai produk penerbitan yang melewati proses percetakan. Pers dalam arti luas adalah meliputi pelbagai kategori dan jenis media massa, baik suratkabar, radio, televisi, film, dan sebagainya.
Pengertian Press (Inggris) atau Pers (Belanda) berasal dari bahasa Latin Pressare yang berarti tekan atau cetak. Pers lalu diartikan sebagai media massa cetak (printing media). Jadi, secara umum istilah pers lazim dipakai untuk suratkabar atau majalah (Muhtadi, 1999)
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ”jurnalistik” adalah bentuk komunikasinya, bentuk kegiatan dan bentuk isinya, sedangkan ”pers” adalah medium tempat jurnalistik disalurkan/disoiarkan/dipublikasikan. Jika dilihat dari hasil akhirnya, ”jurnalistik” adalah adalah hasil kegiatan pengolahan informasi yang akan disampaikan berupa berita, reportase, feature, dsb, maka ”pers” adalah suratkabarnya, majalahnya, televisinya, atau internetnya. Singkat kata pers adalah medianya, sedangkan jurnalistik adalah isinya (Muhtadi, 1999; Sumadiria, 2005; Kusumaningrat dan Kusumaningrat, 2005).
Industri pers terkait erat dengan perkembangan teknologi komunikasi, publikasi, dan informasi. Antara tahun 1880-1900, terdapat berbagai kemajuan dalam industri pers. Yang paling menonjol adalah mulai digunakannya mesin cetak cepat, sehingga deadline penulisan berita menjadi lebih panjang dan bisa ditunda hingga malam hari. Selain itu, teknologi fotografi memungkinkan ditampilkannya foto pada halaman-halaman suratkabar. Perkembangan selanjutnya dari penemuan ini adalah teknologi cetak yang dapat mencetak kertas sampai ribuan lembar setiap jam. Proses percetakan menggunakan metode typesetting, yakni huruf yang akan dicetak disusun sedemikian rupa sehingga menghasilkan hasil cetakan seperti yang diperkenalkan pertama kali oleh Gutenberg. Pada periode 1860-an merupakan tahun ditemukannya litography, yaitu proses percetakan dengan cetakan bahan kimia dan menggantikan metode sebelumnya, yaitu engraving. Di sisi lain, teknologi percetakan fotografi pun mengalami perkembangan dengan proses photoengraving yaitu dengan mencetak suatu gambar secara kimia melalui lempengan besi dengan proses fotografis. Setelah Perang Dunia II, proses percetakan menggunakan offset printing. Teknologi ini digunakan terus menurus sampai saat ini karena kualitas, kecepatan, dan dari sisi pembiayaan lebih ekonomis (Straubhaar & La Rose, 2006; Fidler, 2003).
Pada 1893, untuk pertama kalinya surat-suratkabar di AS menggunakan tinta warna untuk komik dan beberapa bagian di koran edisi Minggu. Pada 1899 mulai digunakan teknologi merekam ke dalam pita, walaupun belum banyak digunakan oleh kalangan jurnalis saat itu. Pada 1920-an, suratkabar dan majalah mendapatkan pesaing baru dalam pemberitaan, dengan maraknya radio berita. Namun demikian, media cetak tidak sampai kehilangan pembacanya, karena berita yang disiarkan radio lebih singkat dan sifatnya sekilas. Baru pada 1950-an perhatian masyarakat sedikit teralihkan dengan munculnya televisi. Namun kemunculan televisi tidak sampai “mematikan” media yang lain. Jadi dapat dikatakan, munculnya radio tidak mematikan media cetak, demikian juga munculnya televisi tidak menghentikan kegemaran orang mendengarkan radio. Ketiga jenis media itu memiliki karakteristik tersendiri dengan kelebihan dan kelemahan masing-masing sehingga saling melengkapi. Inilah yang menyebabkan ketiga media itu sanggup bertahan bersama-sama secara harmonis (Rivers, dkk, 2003).
Perkembangan teknologi komputer yang sangat pesat pada era 1970-1980 juga ikut mengubah cara dan proses produksi berita. Selain deadline bisa diundur menjadi lebih panjang, proses cetak, copy cetak yang bisa dilakukan secara massif, perwajahan, hingga iklan, dan marketing mengalami perubahan sangat besar dengan penggunaan komputer di industri media massa. media cetak mengalami perubahan besar dalam proses produksi. Mesin ketik yang tadinya dipergunakan secara luas untuk menghasilkan tulisan, mulai digantikan oleh komputer. Melalui komputer, media cetak tidak hanya menghasilkan tulisan yang dapat diubah tanpa membuang-buang kertas namun juga dapat mengubah suatu gambar atau foto. Hasil kerja yang berbentuk softcopy tersebut, kemudian dicetak. Hal ini tentu saja berpengaruh terhadap efisiensi biaya produksi (Straubhaar & La Rose, 2006).
Memasuki era 1990-an, penggunaan teknologi komputer tidak terbatas di ruang redaksi saja. Semakin canggihnya teknologi komputer notebook yang sudah dilengkapi modem dan teknologi wireless, serta akses pengiriman berita teks, foto, dan video melalui internet atau via satelit, telah memudahkan wartawan yang meliput di medan paling sulit sekalipun. Selain itu, pada era ini juga muncul media jurnalistik multimedia. Setiap media dan kantor berita juga dituntut untuk juga menggunakan internet ini agar tidak kalah bersaing dan demi menyebarluaskan beritanya ke berbagai kalangan. Setiap media cetak atau elektronik ternama memiliki situs berita di internet, yang updating datanya bisa dalam hitungan menit. Ada juga yang masih menyajikan edisi internetnya sama persis dengan edisi cetak.
Di sisi lain, pada tahun 2000-an, berkat perkembangan teknologi web yang pesat, muncul situs-situs pribadi yang juga memuat laporan jurnalistik pemiliknya. Istilah untuk situs pribadi ini adalah weblog dan sering disingkat menjadi blog saja. Memang tidak semua blog berisikan laporan jurnalistik. Tapi banyak yang berisi laporan jurnalistik bermutu. Senior Editor Online Journalism Review, J.D Lasica pernah menulis bahwa blog merupakan salah satu bentuk jurnalisme dan bisa dijadikan sumber untuk berita. Meski tentunya masih diperdebatkan karena harus memenuhi beberapa syarat.
Internet pada dasarnya adalah sistem jaringan antar komputer. Konsepnya adalah menjadikan personal komputer (PC) yang terdapat di seluruh dunia baik di rumah-rumah maupun di kantor sebagi terminal komunikasi serba guna yang dapat digunakan untuk menerima ataupun mengirim sinyal seperti suara, gambar, dan data (Ishadi, 1999).
Internet sebagai salah satu kata kunci yang memainkan peran penting dalam pembentukan media baru juga ditegaskan oleh pernyataan Don Tapscott, direktur Alliance of Converging Technologies, sebagai berikut :

The traditional media of the fourth estate (originally called ‘the press’) are converging with computing and telecommunications to create nothing less than a new medium of human communications –with the Net at its heart (Tapscott, dalam Dalam Riley, Patricia, et.al, http:// www.ascusc.org/jcmc/vol4/issue1/Keough.html,1998).
Media baru tersebut muncul dengan sifatnya yang semakin canggih. Karakteristik volume informasi dan pesan yang disampaikan semakin besar dan menjangkau seluruh dunia. Media baru yang dimaksudkan di sini tidak terbatas hanya pada media interaktif saja, tapi juga seluruh media konvensional yang ada. Berkat kecanggihan teknologi, media baru ini mampu menyebarkan seluruh kejadian ke seluruh penjuru dunia pada saat yang sama. McQuail (2004) merumuskan ciri-ciri media baru tersebut, antara lain :
  1. Desentralisasi: pengadaan dan pemilihan berita/informasi tidak lagi sepenuhnya berada di tangan pemasok komunikasi.
  2. Berkemampuan tinggi: pengantaran melalui media kabel dan satelit mengatasi hambatan komunikasi yang disebabkan oleh pemancar siaran lainnya.
  3. Bersifat interaktif: setiap pelaku komunikasi yang terlibat didalamnya dapat melakukan proses komunikasi timbal balik, dimana mereka dapat memilih, menjawab kembali, menukar informasi dan dihubungkan dengan yang lainnya secara langsung.
  4. Fleksibel: fleksibel dalam hal ini meliputi bentuk, isi, dan penggunaannya.
Dengan jaringan internet sebagai saluran komunikasinya dan informasi interaktif yang menjangkau seluruh dunia, peranan media baru tersebut menjadi sangat dominan. Semua media lama akan menjadi tradisional jika tidak melibatkan diri dalam jaringan cyberspace. Semua itu merupakan prasyarat agar media mampu menjadi bagian dari sistem jaringan global.
Secara nyata, praktik “jurnalisme online” dimulai ketika Mark Drudge yang terkenal lewat Drudge Report-nya membongkar skandal perselingkuhan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton dengan Monica Lewinsky atau yang sering disebut “monicagate” (Berita skandal ini mulai menjadi perbincangan publik ketika sebuah e-mail dikirimkan ke 50 ribu pelanggan pada tanggal 18 Januari 1998 (Santana, 2005: 136). Dalam setiap aspek penting kisah ini, menurut Lasica (dalam Santana, 2005: 136),
Ketika menulis Internet Journalism and the Clinton-Lewinsky Investigation, medium internet digunakan untuk “membongkar berita-berita skandal, menyuarakan tuduhan-­tuduhan baru, dan merilis secara keseluruhan laporan final Starr atas investigasinya”. Hingga timbul pertanyaan: apakah berita ini adil dan akurat perlu dikesampingkan untuk menjangkau (fakta) fenomena jurnalisme online telah hadir? Jumalisme online telah memicu tren alternatif, mengklaim bahwajurnalisme online telah mengubah segala aktivitas jurnalistik dan kegiatan lama profesi jurnalisme. Sejak itu, jurnalisme online telah maju secara dramatis.
J. Pavlik (2001) menyebut jurnalisme online sebagai “contextualized journalism” yang mengintegrasikan tiga model komunikasi, yaitu kemampuan multimedia berdasarkan platform digital, kualitas-kualitas interaktif komunikasi online, dan fitur-fitur yang dapat ditata dengan berbagai variasi (costomizable features).Dalam kaitan ini, Rafaeli dan Newhagen (sebagaimana dikutip Santana, 2005: 137) mengidentifikasi lima perbedaan utama yang ada di antara jurnalisme online dan media massa tradisional: (1) kemampuan internet untuk mengombinasikan sejumlah media; (2) kurangnya tirani penulis atas pembaca; (3) tidak seorang pun dapat mengendalikan perhatian khalayak; (4) internet dapat membuat proses komunikasi berlangsung sinambung; dan (5) interaktifitas web. Dengan berbagai ciri yang melekat pada jurnalisme online di atas, maka dapat dikatakan bahwa secara nyata terdapat perbedaan yang cukup mencolok pada jurnalisme online dibanding media konvensional. Dengan demikian. kelebihan dari internet sebagai media komunikasi adalah kemampuannya dalam mengubah alur komunikasi yang searah (dari komunikator ke komunikan) menjadi dua arah (dari komunikan ke komunikator). Sifat interaktif inilah yang menyebabkan internet mejadi media yang memperlebar ruang-ruang demokrasi, sebab masyarakat tak lagi sekadar objek pemberitaan tetapi juga bisa jadi subjek.
Share this article :

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Klik Online - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger